ANAK RANTAU
Sinta
Meida Cahyani
Masih ingat dalam benakku saat ibu
berbicara dihadapanku “ Jangan mudah putus asa, neng. Banyak kesempatan yang
akan membawamu kedalam kesuksesan. Ingat terus pesan ibu, jaga diri baik-baik,
jangan lupa kewajibanmu sebagai muslim. Do’a ema selalu menyertaimu.”
Kepergianku diiringi tangis dan do’a
tulus dari ibu tercinta. Berat rasanya meninggalkan ema sendirian di kampung
dengan keadaan ekonomi keluargaku yang sedang sulit begini. Tapi, aku harus
tetap pergi demi merubah garis tangan hidupku.
Saat
pertama kali ku pijakan kakiku di Ibukota, sudah kurasa hiruk pikukdan
perbedaan yang sangat erlihat, mulai dari bahasa, buadya dan sosialnya yang
sangat jauh dengan kampungku. Dengan hanya membawa ijazah SMA, dan modal nekad
aku berharap bisa mendapat pekerjaan yang layak.
Awalnya, aku tinggal menumpang di rumah
saudaraku yang sudah lebih dulu merantau . kehidupannya tidak bernasib mujur,
saudaraku tinggal diatas sepetak rumah kontrakan disekitar wilayah kampung
Rambutan.
Singkat cerita, setelah sekian lama
aku berputar-putar mencari pekerjaan, akhirnya aku mendapat pekerjaan menjadi
seorang pelayan di sebuah toko klontongan. Tiga bulan masa percobaan berjalan dengan baik. Setiap
bulannya aku selalu memberi kabar kepada ibuku bahwa aku disini baik-baik saja.
Dibulan-bulan berikutnya aku mendaptkan gaji, uangnya sebagian aku berikan
kepada saudaraku sebagai tanda terimakasih karena dengan mereka aku bisa
mendapatkan tempat untuk hidup disini, dan sebagian lagi ku kumpulkan untuk
memenuhi kebutuhanku selama bekerja.
“ Kamu hebat! Kamu bisa bertahan dan
sabar dalam bekerja.” Kata Rosa rekan kerjaku di toko
“ Aku bisa seperti ini karena
semangat dan tekadku untuk dapat merubah kehidupan keluargaku di kampung, Ca.”
Jawabku
Aku yang sedang membereskan
barang-barang dagangan bersama Rosa dikejutkan oleh datangnya atasanku dan
memanggiku untuk datang ke ruang kerjanya. Sesampanya didepan pintu ruang
kerja, aku merasa sangat gugup dan takut dimarahi karena mungkin kerjaku yang
tidak baik. Tok tok tok pintu aku ketuk,
“ Silahkan masuk!”
“ Maaf pak, apakah tadi bapak
memanggil saya? “
“ Iya, ada hal yang ingin saya
bicarakan kepada kamu.”
“ Kalau boleh saya tahu, tentang hal
apa? Apakah saya telah membuat kesalahan, pak?”
“ Tidak. Setelah dua tahun kamu
kerja disini, saya melihat cara kerja kamu yang baik, rapi, dan kerja keras
kamu. Baiklah sebab kamu saya panggil kesini karena saya ingin mengangkat kamu
sebagai pengurus di toko saya yang ada di Daerah Kemayoran. Apakah kamu
bersedia?”
Setengah
tidak percaya, aku bagai mendapat durian runtuh. Aku tidak cepat mengatakan
iya. Aku memikirkan, menimbang pikiranku tentang resiko resiko yang nantinya
akan berada dihadapanku. Tapi, kesempatan tidak akan datang dua kali, akhirnya
aku menyatakan setuju dan bersedia menerima tawaran atasanku.
***
“ Ma, alhamdulillah berkat do’a dari
ema saat ini aku sudah diberi kepercayaan untuk menjadi seorang pengurus di
toko cabang tempat aku bekerja. Bersama
surat ini, neng selipkan uang hasil kerja neng selama bekerja disini, semoga
ema bisa menerimanya. Jaga terus kesehatan ema ya, neng pasti cepat pulang.”
Aku menulis surat itu dengan bahagia.
Setelah satu tahun aku bekerja
dan saat aku sudah mulai menikmati
enaknya menjadi seorang pengurus toko. Aku mendapat kabar dari tetanggaku di
kampung, bahwa ema sedang sakit, aku sangat kaget dan langsung meminta izin
pulang kampung kepada atasanku. Setelah mendapat izin, aku bergegas pulang ke
kontrakanku dan membereskan pakaianku. Lalu aku pergi ke terminal dan membeli
tiket.
Selama diperjalanan aku sangat
merasa cemas dan tidak karuan. Setelah beberapa lama aku sampai juga di depan
rumah. Segera aku mengucapkan salam dan masuk ke kamar ema. Ia terlihat sangat
bahagia melihat aku dan memelukku dengan erat. Aku tidak bisa menahan tangis
haru dan kerinduan kepada ema.
***
Setiap hari aku merawat dan menjaga
ema dengan penuh kasih sayang. Aku berpikir untuk tidak kembali lagi ke Jakarta
dan aku menyampaikan niatku itu kepada atasanku disana, ia mengerti dan
menerima pernyataanku. Aku pun membuka warung kecil-kecilan di depan halaman
rumahku untuk dapat menyambung hidup disini.
Pada awalnya, warungku sepi pembeli dan aku sempat berputus asa. Tapi,
ema terus menyemangatiku dan mengajarkanku tentang arti-arti kesabaran. Aku mencoba menambah jenis barang dan
makanan, lalu aku tawarkan dan mulai mengenalkan tentang warungku kepada warga
sekitar rumah. Lama kelamaan para pembeli berdatangan, mulai banyak orang yang
menjadi pelanggan. Sedikit demi sedikit aku membuat warungku menjadi sebuah
toko yang lumayan besar.
Ku sadari hasil ini dapat aku raih
berkat usaha, kegigihan dan kerja kerasku serta do’a-do’a dari ema yang tiada
hentinya bagai air yang terus mengalir.